DEMAK BICARA - Kekerasan seksual, termasuk rudapaksa, terutama yang melibatkan anak-anak, merupakan salah satu kejahatan paling serius dan merusak dalam masyarakat.
Di Indonesia, pelaku rudapaksa terhadap anak dapat dijerat dengan hukuman berat, yakni penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar. Namun, banyak yang mempertanyakan mengapa hukuman mati tidak diterapkan dalam kasus-kasus kejahatan seksual seperti rudapaksa, meskipun dampaknya sangat traumatis dan bisa bertahan seumur hidup bagi korban.
Alasan Hukum di Indonesia Tidak Menerapkan Hukuman Mati untuk Rudapaksa
-
Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia, termasuk hak hidup, yang diakui dalam Konstitusi dan berbagai perjanjian internasional yang diratifikasi. Meskipun kejahatan rudapaksa sangat serius, hak hidup dianggap sebagai hak yang paling mendasar, bahkan untuk pelaku kejahatan berat. Penerapan hukuman mati bertentangan dengan prinsip ini, sehingga negara cenderung membatasi penerapan hukuman mati hanya untuk kejahatan yang dinilai "paling berat," seperti terorisme, narkoba, dan pembunuhan berencana.
-
Tujuan Rehabilitasi Sistem hukum pidana Indonesia juga menekankan aspek rehabilitasi bagi pelaku kejahatan. Bahkan dalam kasus serius seperti rudapaksa, ada pandangan bahwa pelaku masih memiliki kesempatan untuk direhabilitasi dan mengubah perilakunya. Terutama bagi pelaku yang masih muda atau remaja, pendekatan rehabilitatif dianggap lebih manusiawi dibandingkan hukuman mati yang menghilangkan peluang perbaikan.
-
Keseimbangan Keadilan Hukum Indonesia mengakui bahwa keadilan harus diberikan baik kepada korban maupun pelaku. Dalam konteks rudapaksa, hukuman berat berupa penjara hingga 15 atau 20 tahun dianggap sudah seimbang untuk menegakkan keadilan bagi korban sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku. Di beberapa kasus, hukuman penjara dapat diperpanjang jika terdapat faktor-faktor pemberatan, seperti pelaku memiliki hubungan khusus dengan korban atau adanya kekerasan yang ekstrem.
-
Kontroversi Hukuman Mati Hukuman mati di Indonesia selalu menjadi subjek perdebatan, dengan banyak pihak yang mendukung penghapusan hukuman tersebut karena alasan HAM. Ada anggapan bahwa hukuman mati tidak memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menebus kesalahannya dan bahwa sistem hukum yang tidak sempurna dapat menyebabkan eksekusi terhadap orang yang tidak bersalah. Ini adalah salah satu alasan mengapa hukuman mati tidak diterapkan secara meluas, bahkan untuk kasus berat seperti rudapaksa.
Upaya untuk Memberatkan Hukuman bagi Pelaku Rudapaksa
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014), pelaku kekerasan seksual terhadap anak bisa dikenakan hukuman penjara paling lama 15 tahun. Namun, jika perbuatan tersebut menyebabkan kematian, hukuman dapat diperberat hingga 20 tahun penjara atau bahkan seumur hidup.
Namun, jika pelaku adalah anak di bawah umur, sistem peradilan pidana anak di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA No. 11 Tahun 2012), memberikan perlakuan berbeda. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan sekaligus kesempatan bagi anak untuk diperbaiki. Hukuman bagi pelaku yang masih di bawah umur (anak-anak) sering kali lebih ringan daripada hukuman bagi pelaku dewasa. Beberapa ketentuan dalam hukum pidana anak adalah: