Lesti Kejora Putuskan Berdamai Usai Gugat Rizky Billar, Kenapa Korban Mau Kembali Bersama Pelaku KDRT?

17 Oktober 2022, 06:20 WIB
Lesti Kejora Putuskan Berdamai Usai Gugat Rizky Billar, Kenapa Korban Mau Kembali Bersama Pelaku KDRT? /Instagram/@sandyarifinsh

DEMAK BICARA – Lesti Kejora yang mencabut laporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atas Rizky Billar menyebabkan masyarakat kecewa dan ingin mengetahui alasan ia mau kembali bersama sang suami.

Lesti Kejora resmi mencabut laporannya atas tindakan KDRT oleh sang suami, Rizky Billar, pada Jumat, 14 Oktober 2022.

Dalam surat perjanjian kesepakatan damai antara Lesti Kejora dan Rizky Billar yang ditunjukkan Hotma Sitompul, kuasa hukum Billar, pada Kamis, 13 Oktober 2022 di Mapolres Metro Jakarta Selatan, diketahui keduanya berdamai untuk demi keberlangsungan rumah tangga mereka.

Baca Juga: Makna dan Kandungan Surah Al - Hadid, Penjelasan Tentang Wahyu Injil Kepada Nabi Isa

Meski begitu, muncul keingintahuan masyarakat mengenai alasan korban KDRT, seperti Lesti Kejora, mau kembali bersama dengan pelaku kekerasan, seperti Rizky Billar.

Lalu, mengapa korban KDRT, seperti Lesti Kejora, mau kembali berhubungan dengan Rizky Billar yang merupakan pelaku kekerasan?

Simak penjelasan berikut ini.

Data dari Organisasi Safe Lives di Inggris menunjukkan, banyak korban KDRT mendapatkan pertolongan efektif paling tidak setahun setelah mendapatkan kekerasan.

Rata-rata korban KDRT berpotensi hidup dalam kekerasan selama 2,3-3 tahun sebelum mendapatkan pertolongan profesional.

Selain itu, rata-rata korban KDRT mengalami 50 insiden pelecehan sebelum mendapatkan bantuan yang efektif.

Ada sejumlah alasan yang membuat korban KDRT tidak berpisah atau memilik kembali berhubungan dengan pelaku yang berbuat kekerasan kepadanya.

Baca Juga: Link Live Streaming Serie A Italia 2022-2023 17 Oktober 2022, Verona VS AC Milan

Pertama, korban merasa takut dan terancam saat berpisah dengan pelaku KDRT.

Sebuah studi dari National Coalition Against Domestic Violence di Colorado membuktikan, waktu paling berbahaya bagi korban KDRT adalah saat ia memutuskan pergi dari pelaku kekerasan.

Penelitian dari Domestic Abuse Shelter di Florida menunjukkan bahwa 75% wanita dibunuh oleh pasangan mereka saat berusaha atau setelah meninggalkan suatu hubungan KDRT.

Korban KDRT akan merasa takut berpisah dengan pelaku karena takut akan tindakan kekerasan yang lebih parah, bertahan demi anak, terlalu menggantungkan hidup kepada pasangannya, maupun malu dengan orang lain.

Kedua, pelaku KDRT memberikan kontrol psikologi atau mencuci otak korban.

Banyak pelaku KDRT menggunakan taktik kekerasan emosional atau kontrol paksaan untuk meyakinkan korban bahwa satu-satunya orang yang dapat mencintai atau menjaga mereka adalah pelaku.

Melalui kebohongan dan gaslighting, pelaku KDRT meyakinkan korban bahwa korbanlah yang bersalah atas kekerasan itu dan menyebabkan perasaan bersalah pada korban sehingga korban kembali ke pelaku karena malu.

Ketiga, korban KDRT tidak mempunyai tempat lain untuk pergi.

Survei di DomesticShelters.org menunjukkan, 43% korban KDRT kembali ke pelaku setelah mengetahui tempat penampungan kekerasan dalam rumah tangga di daerah mereka tidak dapat menampung mereka.

Banyak penyintas KDRT diasingkan pelaku sehingga tidak memiliki orang yang mendukung, terasing, tanpa sumber keuangan mereka sendiri, dan tidak memiliki tempat tinggal lain.

Keempat, kekhawatiran atas masa depan anak.

Banyak penyintas KDRT khawatir pelaku akan menyalahgunakan anak-anak ketika korban tidak ada di tempat.

Akibatnya, banyak penyintas KDRT kembali bersama pelaku kekerasan untuk melindungi atau menanggung beban kekerasan yang mungkin dialami anak-anak mereka.

Alasan lain mungkin dimiliki korban KDRT yang masih mencintai pasangan meskipun pelaku berperilaku kasar, antara lain:

  • Mengalami penolakan dalam diri bahwa itu tindakan KDRT sebagai mekanisme pertahanan.
  • Terjebak dalam siklus KDRT.
  • Memiliki gangguan kepribadian atau gaya keterikatan yang membuat korban tergantung pada pelaku KDRT.
  • Bingung dengan taktik manipulasi yang dilakukan pelaku KDRT.
  • Melihat perubahan sementara pada pelaku KDRT yang memberi korban harapan untuk perubahan jangka panjang.
  • Mengalami disonansi kognitif.
  • Merasa korban KDRT dapat menyembuhkan pelaku dengan cinta dan pengorbanan diri.
  • Mengalami ikatan trauma, dikenal sebagai Sindrom Stockholm.

Walaupun ada pendapat dari dunia psikologi yang menyatakan pelaku KDRT mungkin berubah melalui cara konseling dan terapi, belum ada penelitian membuktikan tindakan kekerasan itu pasti akan berhenti.

Untuk itu, korban KDRT tetap perlu memiliki rencana khusus untuk selamat dari tindakan kekerasan yang dilakukan pelaku.

Ada paling tidak enam cara agar terbebas dari KDRT.

  1. Hubungi hotline KDRT atau lembaga perlindungan, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
  2. Ajari anak mengenai langkah-langkah keamanan yang harus dilakukan jika dalam situasi bahaya.
  3. Rencanakan tempat sementara yang aman dan rahasia untuk menghindari atau menyelamatkan diri dari pelaku KDRT.
  4. Pertimbangkan untuk membuat laporan perlindungan diri dan anak dari pelaku KDRT kepada aparat kepolisian atau pengacara yang berpengalaman menangani kasus kekerasan.
  5. Pertimbangkan untuk mengajukan tuntutan hukum atas tindakan KDRT yang dilakukan pelaku.
  6. Temukan sistem pendukung yang dapat korban KDRT andalkan untuk membantu tetap kuat dan menghindari upaya manipulatif pelaku yang ingin kembali bersama korban.

Korban KDRT bukanlah orang yang lemah, namun harus berani mengambil keputusan terbaik bagi diri dan keluarganya untuk keluar dari tindakan kekerasan itu.***

Editor: Kusuma Nur

Tags

Terkini

Terpopuler