Menlu Retno Sebut Penggunaan Kekerasan terhadap Demonstran Anti Kudeta Myanmar Tidak Dapat Diterima

30 Maret 2021, 20:21 WIB
Demonstran bersembunyi di balik barikade selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 28 Maret 2021. /Reuters

DEMAK BICARA - Pemerintah Indonesia menilai bahwa penggunaan kekerasan yang diakukan aparat Myanmar menangani para demonstran anti kudeta tidak dapat diterima.

Hal itu disampaikan Menlu Retno Marsudi dalam pertemuan bilateral dengan Menlu Jepang Motegi Toshimitsu di Tokyo pada Senin, 29 Maret 2021, saat keduanya membahas sejumlah isu kawasan dan dunia.

“Indonesia menolak keras penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan (Myanmar) yang menyebabkan jatuhnya lebih dari 100 korban meninggal pada 27 Maret 2021,” kata Retno saat menyampaikan keterangan pers secara virtual, Selasa, 30 Maret 2021.

Baca Juga: Sorry! Memes Prameswari Ogah Dibanding-bandingkan dengan Amanda Manopo

Menlu Retno juga mengatakan, Jepang juga berbagi keprihatinan yang sama dengan Indonesia terkait perkembangan situasi di Myanmar, Retno menyeru penghentian kekerasan dengan segera agar korban tidak kembali berjatuhan, di samping dialog yang harus terus diupayakan.

“Hanya melalui dialog, Myanmar akan dapat menyelesaikan masalah mereka,” ujarnya.

Sebelumnya, melalui keterangan tertulis dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Menlu Motegi mengecam keras situasi di Myanmar yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Baca Juga: Berikut 3 Kilang Minyak di Indonesia yang Pernah Terbakar Selain Kilang Minyak Balongan

Untuk itu, ia menyambut baik upaya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) guna membantu mengatasi situasi di Myanmar, dan menyampaikan rasa hormat atas kepemimpinan Indonesia dalam upaya tersebut.

“Dengan tetap menghormati prinsip non interfensi, sejak awal ASEAN telah menawarkan bantuan kepada Myanmar,” kata Retno.

“Dialog harus diupayakan untuk mengembalikan demokrasi, perdamaian, dan stabilitas di Myanmar,” tutur Menlu Retno, yang dalam kunjungannya ke Tokyo juga sempat berdiskusi dengan utusan khusus Jepang untuk rekonsiliasi nasional Myanmar Sasakawa Yohei.

Baca Juga: Nissa Sabyan Dikabarkan Sedang Berbadan Dua, Mbah Mijan: Alhamdulillah Sebentar Lagi Bakal Punya Cucu

Sedikitnya 510 warga sipil tewas dalam dua bulan unjuk rasa untuk melawan kudeta militer di Myanmar, menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Kelompok itu juga mencatat bahwa Sabtu, 27 Maret 2021 menjadi hari paling berdarah selama unjuk rasa anti kudeta dengan 141 korban tewas.

Dari 14 orang yang terbunuh di Myanmar pada Senin, 29 Maret 2021, sedikitnya delapan orang berada di distrik Dagon Selatan, Yangon, di mana pasukan keamanan menembakkan senjata kaliber yang jauh lebih berat dari biasanya untuk membersihkan barikade kantong pasir, kata para saksi mata.

Televisi pemerintah mengatakan pasukan keamanan menggunakan "senjata anti huru hara" untuk membubarkan kerumunan "teroris yang kejam" yang menghancurkan trotoar dan menyebabkan satu orang terluka.

Baca Juga: 6 Fakta Konglomerat Ceko yang Tewas Kecelakaan: Hartanya Rp 250 Triliun

Militer Myanmar selama beberapa dekade telah membenarkan cengkeramannya pada kekuasaan dengan mengatakan bahwa militer adalah satu-satunya institusi yang mampu menjaga persatuan nasional.

Militer merebut kekuasaan dengan menuduh bahwa pemilu November tahun lalu, yang dimenangkan oleh partai pemenang Nobel Aung San Suu Kyi, curang.

Tuduhan adanya kecurangan, yang telah dibantah oleh komisi pemilu setempat, melatarbelakangi dilancarkannya kudeta oleh militer pada 1 Februari 2021.

Baca Juga: Saudari Pemimpin Korut Kecam Korsel: Tidak Masuk Akal dan Kurang Ajar

Sejak saat itu, unjuk rasa terus dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Myanmar yang menginginkan pemerintahan demokratis bagi negaranya.

Editor: Muslimin

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler