Hasil siklus ini adalah tanggal satu Suro pada urutan tahun Jawa ke delapan selisih satu hari lebih lambat dari 1 Muharram kalender Islam.
Peringatan malam satu Suro dilaksanakan pada malam hari mengikuti pergantian hari pada kalender Jawa yang dimulai saat matahari tenggelam.
Pada malam satu Suro, Sultan Agung sering mengadakan pertemuan pemerintahan sekaligus pengajian, ziarah kubur, dan haul ke makam Sunan Ampel dan Giri.
Akibatnya, muncul kepercayaan malam satu Suro keramat dan harus digunakan untuk pengajian, ziarah, dan haul.
Sebagai perayaan tahun baru Jawa yang juga tahun baru Islam, banyak tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa dari berbagai daerah.
Keraton Surakarta rutin merayakan malam satu Suro dengan arak-arakan kebo bule Kyai Slamet dan warga yang berebut kotoran kerbau karena dianggap membawa berkah.