Sejumlah Ahli Pertanyakan Keputusan Polisi Gunakan Tembakan Gas Air Mata dalam Tragedi Kanjuruhan

- 5 Oktober 2022, 17:23 WIB
Sejumlah Ahli Pertanyakan Keputusan Polisi Gunakan Tembakan Gas Air Mata dalam Tragedi Kanjuruhan
Sejumlah Ahli Pertanyakan Keputusan Polisi Gunakan Tembakan Gas Air Mata dalam Tragedi Kanjuruhan /Instagram

DEMAK BICARA – Tembakan gas air mata yang polisi tujukan kepada para suporter dari tragedi Kanjuruhan membuat ahli bertanya-tanya.

Sejumlah ahli Hak Asasi Manusia dan kepolisian mempertanyakan keputusan aparat polisi menembakkan gas air mata ke arah penonton laga Arema FC vs Persebaya Surabaya pada Sabtu kemarin di Stadion Kanjuruhan.

Tembakan gas air mata yang ditujukan dengan dalih mengurai kerusuhan Aremania itu justru memicu kepanikan di tribun penoton bahkan membunuh paling tidak 125 korban dan melukai ratusan lainnya.

Baca Juga: Bukan Penyebab Tragedi Kanjuruhan, Kenapa Rivalitas Suporter Bola di Indonesia Terjadi dan Cara Mengatasinya?

Para ahli meragukan apakah tembakan gas air mata itu solusi yang tepat dalam tragedi Kanjuruhan.

“Sangat, sangat berbahaya menggunakan taktik penyebaran gas air mata dalam kasus ini,” ujar Owen West seorang dosen senior kepolisian dari Universitas Edge Hill, Inggris.

West menjelaskan, gas air mata menyebabkan rasa terbakar pada mata, mulut, hidung, paru-paru, dan kulit.

Gas air mata berefek terhadap banyak orang sehingga sangat bahaya jika ditembakkan di tempat tertutup, seperti stadion.

Efek yang sakit membuat semua penonton berusaha cepat menghindar tapi sulit dilakukan karena lokasinya terbatas.

“Gas air mata adalah senjata jarak jauh. Itu ada untuk membuat jarak antara massa dan polisi. Itu ada untuk membubarkan. Petugas polisi yang menggunakan taktik itu seharusnya berpikir, jika kita menggunakan perangkat ini, ke mana kita berharap orang-orang bubar?” katanya.

Usman Hamid direktur eksekutif Amnesty International untuk Indonesia menyatakan hal yang senada dengan West.

Dalam sebuah pernyataan tertulis, ia menyebutkan bahwa gas air mata hanya boleh digunakan untuk membubarkan massa ketika terjadi kekerasan yang meluas dan saat metode lain gagal meredakan kerusuhan.

Hamid menyerukan, massa seharusnya diberi peringatan dan kesempatan untuk bubar sebelum gas air mata ditembakkan.

“Gas air mata juga tidak boleh ditembakkan di ruang terbatas,” tambahnya.

Ia meyakini kepanikan terjadi di antara para penggemar sepak bola dalam kejadian di Kanjuruhan karena efek gas air mata yang mereka rasakan.

Baca Juga: Link Live Streaming Kualifikasi Piala Asia U-17 2022 Grup B, Garuda Hadapi UEA

"Melarikan diri dari sesuatu yang merusak pernapasan, penglihatan, dan kesehatan secara umum itu adalah keputusan yang sepenuhnya rasional," sebutnya.

Jauh sebelum tragedi Kanjuruhan, tembakan gas air mata dari polisi pernah membunuh seorang anak laki-laki berusia 16 tahun dan melukai 214 orang dalam laga antara Arema FC dan Persib Bandung pada Aril 2018.

Tragedi yang terjadi di Kanjuruhan termasuk salah satu kerusuhan di stadion sepak bola yang memakan korban terbanyak sepanjang sejarah.

Tim investigasi khusus telah dikerahkan untuk menyelidiki kejadian ini.***

Editor: Kusuma Nur


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah