Network
DEMAK BICARA – Simak sejarah asal usul angklung di Indonesia.
Hari ini, angklung menghiasi laman Google lewat gambar animasi Google Doodle.
Google Doodle menggambar alat musik ini untuk merayakan hari penetapan angklung sebagai bagian dari Warisan Budaya Tak Benda atau Intangible Cultural Heritage pada 2010 silam.
Angklung resmi mendapatkan sertifikat anugerah Warisan Budaya Dunia pada 19 Januari 2011.
Lalu, bagaimana sejarah angklung bisa dimainkan di Indonesia hingga mendunia?
Baca Juga: Karikatur Angklung Warnai Google Doodle Hari Ini! Perayaan Angklung sebagai Warisan Budaya Dunia
Berikut sejarah asal usul angklung di Indonesia.
Dikutip dari situs Indonesia Kaya, kata “angklung” berasal dari bahasa Sunda angkleung-angkleungan yang menggambarkan gerakan pemain angklung saat memutar-balikkan alat musik ini, serta dari suara “klung” yang dihasilkan instrumen ini.
Angklung awalnya merupakan pengembangan dari alat musik calung, yaitu tabung bambu yang dipukul.
Beda dari calung, angklung terdiri dari 2 sampai 4 tabung bambu yang dirangkai menjadi satu dengan tali rotan.
Angklung dimainkan dengan cara digoyang sehingga hanya menghasilkan satu nada untuk setiap instrumen.
Sejarah Angklung di Indonesia
Bukan dari Jawa Barat seperti yang banyak diyakini, keberadaan angklung justru berawal dari Bali.
Sultan Agung di Bali lalu membawa angklung ke wilayah Banten sehingga pelan-pelan tersebar ke wilayah Jawa Barat.
Pengamen Jalanan Populerkan Angklung di Jawa Barat
Daeng Soetigna banyak dikenal sebagai tokoh yang ‘menciptakan’ musik dari angklung.
Ia berjasa dalam menggubah nada musik angklung dari pentatonis ke diatonis.
Musik karya Daeng Soetigna kemudian diturunkan kepada Udjo Ngalagena.
Daeng Soetigna mengenal angklung dari seorang pengamen Jalanan.
Saat bersantai di rumahnya di Kuningan, Jawa Barat pada 1938, seorang pengamen tiba-tiba datang menghampiri Daeng dengan membawa dan memainkan alat musik mirip angklung.
Daeng lantas meminta pengamen itu untuk memainkan alat musik angklung lagi.
Ia tampak antusias dan tertarik dengan permainan sederhana dari alat musik bambu itu.
Daeng yang tertarik pada angklung bertanya kepada si pengamen di mana ia mendapatkan alat musik tersebut.
Pengamen itu menyebutkan nama Pak Jaya yang tinggal pada daerah persawahan di Kuningan.
Pak Jaya merupakan seorang lansia yang katanya mendapatkan angklung ini dari Pulau Bali.
Daeng kemudian menemui Pak Jaya bersama si pengamen jalanan.
Sejak saat itu, Daeng mendapatkan musik angklung dan ikut menyebarkannya dalam dunia musik tradisional Indonesia.
Angklung kemudian menyebar ke berbagai daerah lain di Indonesia, seperti Jawa Timur, Kalimantan, hingga Sumatra.
Penggunaan Angklung
Angklung sempat dimainkan untuk menumbuhkan semangat para pejuang perang, salah satunya saat Sultan Ageng Tirtayasa memimpin rakyat Kerajaan Banten melawan Belanda.
Angklung juga dimainkan dalam upacara keagamaan dan untuk menyebarkan agama Islam.
Di tengah masyarakat, angklung dipakai untuk memohon berkah dari Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan.
Angklung saat ini berkembang menjadi alat musi hiburan untuk warga dan penyambutan acara resmi negara.
UNESCO mematenkan filosofi 5M dari musik angklung.
Filosofi 5M ini terdiri dari Mudah didapat bahannya, Murah harganya, Mendidik, Meriah atau Menggembirakan, dan Massal dimainkan.***
