Para Ahli Soroti Kesalahan Polisi yang Sebabkan Tragedi Kanjuruhan: Jarang Dipidana Padahal Berbuat Kekerasan

- 5 Oktober 2022, 17:33 WIB
Para Ahli Soroti Kesalahan Polisi yang Sebabkan Tragedi Kanjuruhan: Jarang Dipidana Padahal Berbuat Kekerasan
Para Ahli Soroti Kesalahan Polisi yang Sebabkan Tragedi Kanjuruhan: Jarang Dipidana Padahal Berbuat Kekerasan //Antara/Vicki Febrianto/

DEMAK BICARA – Pasca tragedi Kanjuruhan yang membunuh paling tidak 125 orang dan melukai ratusan Aremania, New York Times menyoroti kesalahan pihak kepolisian sehingga menyebabkan tragedi Kanjuruhan.

Kerusuhan di Kanjuruhan yang terjadi akibat tembakan gas air mata dari polisi ke arah tribun penonton memicu kemarahan publik dan diskusi terkait peran kepolisian.

Sui Lee Wee seorang jurnalis New York Times menuliskan keraguan sejumlah ahli atas peran polisi Indonesia dalam tragedi Kanjuruhan pada artikel berjudul “Deadly Soccer Clash in Indonesia Puts Police Tactics, and Impunity, in Spotlight”.

Baca Juga: Komnas HAM Sebut Ada 2 Penyebab Utama Tragedi Kanjuruhan dan Siap Lakukan Penyelidikan

Ia menuliskan, warga Indonesia sering menghadapi kekerasan dari polisi dengan dalih mengatasi kerusuhan, seperti apa yang terjadi di Kanjuruhan.

Saat suporter Arema FC yang turun ke lapangan karena kecewa atas kekalahan dari Persebaya, polisi justru menghadapi dengan tongkat, tameng, dan tembakan gas air mata ke arah penonton laga.

“Ini memperlihatkan pola pikir yang terlalu sering berorientasi pada ketertiban umum, daripada keselamatan publik,” ujar Owen West dosen senior kepolisian dari Edge Hill University di Ormskirk, Inggris, dikutip dari New York Times.

“Anda dapat melihat petugas dengan perlengkapan anti huru-hara lengkap, amunisi pengendalian massa. Itu menjadi ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya (apabila terjadi tragedi dalam kerusuhan),” tambahnya.

West mengatakan, polisi menganggap perlu mengendalikan kerumunan sehingga cenderung terlalu bersemangat dan memiliki terlalu banyak sumber daya saat merespons keadaan itu.

“Seringnya, justru tindakan polisi yang memicu reaksi negatif di antara orang banyak,” katanya.

Baca Juga: Sejumlah Ahli Pertanyakan Keputusan Polisi Gunakan Tembakan Gas Air Mata dalam Tragedi Kanjuruhan

Sementara itu, Jacqui Baker seorang ahli ekonomi politik di Murdoch University, Perth, Australia, yang mempelajari kepolisian Indonesia menyatakan bahwa kasus ini terjadi akibat masalah sistemik dalam kepolisian.

Ia menyebut, banyak polisi kurang terlatih dalam pengendalian massa dan bersikap sangat militeristik.

“Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian Indonesia,” ujar Jacqui Baker.

Menurut Baker, laporan aktivis HAM dan penyelidikan ombudsman pemerintah terkait tindakan polisi Indonesia tidak pernah membuat polisi dipidana.

 “Karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional,” tegasnya.

Hal ini disetujui oleh Wirya Adiwena Wakil Direktur Amnesty International Indonesia.

Wirya menyatakan, hampir tidak pernah ada persidangan yang diberikan kepada polisi yang menggunakan kekuasaan berlebihan.

Salah satunya, terjadi pada demo penolakan hasil penghitungan suara pemilihan presiden Indonesia pada 21-22 Mei 2019.

Menurut Rivanlee Anandar wakil koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), tidak ada investigasi susulan atas kematian lima korban dalam demonstrasi itu.

"Kami belum tahu siapa pelakunya sampai hari ini," katanya.

Ironisnya, daripada memperbaiki sistem, polisi justru menaikkan anggaran pembelian gas air mata.

New York Times melaporkan, tahun ini, anggaran kepolisian nasional mencapai $7,2 miliar atau lebih dari Rp100 triliun, naik dua kali lipat dari 2013.

Anggaran ini bahkan disebut lebih banyak dari yang diterima Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Kementerian Kesehatan.

Andri Prasetiyo, peneliti keuangan dan kebijakan yang menganalisis data pengadaan pemerintah, mengatakan bahwa Polri menghabiskan sekitar $217,3 juta atau lebih dari Rp3 triliun selama 10 tahun terakhir untuk membeli helm, tameng, kendaraan taktis, dan peralatan lain yang dipakai untuk mengontrol demo.

Menurutnya, pembelian gas air mata bahkan melonjak pada 2020 menjadi $14,8 juta, sekitar lebih dari Rp200 miliar, atau meningkat enam kali lipat dari tahun sebelumnya.

Tidak hanya itu, Andri menyebut, Polri menghabiskan hampir $3,3 juta atau sekitar Rp50 miliar, selama Januari tahun ini untuk membeli pentungan khusus bagi polisi di Malang, Jawa Timur.

Hal ini diduga sebagai salah satu antisipasi kerusuhan dalam pertandingan sepak bola.

“Sekarang sudah menjadi pola,” ujar Sana Jaffrey Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Jakarta, mengomentari anggaran besar kepolisian yang digunakan untuk penanganan demonstrasi.

Sana Jaffrey mengatakan bahwa anggaran polisi selama bertahun-tahun dialokasikan untuk menangani banyak demonstrasi.

Sayangnya, ia menyatakan, "hal-hal penting dan pekerjaan dasar sehari-hari polisi telah diabaikan."

Buntut dari tragedi Kanjurahan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memutasi AKBP Ferli Hidayat Kapolres Malang dan 9 anggota Brigade Mobile (Brimob).

Meski begitu, belum ada polisi yang mendapatkan sanksi berupa tindak pidana atas kejadian di Kanjuruhan.

Di sisi lain, Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan sekaligus Ketua Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang bertugas menyelidiki tragedi Kanjuruhan menyatakan bahwa petugas yang dicurigai melakukan tindakan kekerasan salah saat bertugas di stadion akan menghadapi tuntutan pidana.***

Editor: Kusuma Nur


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah